Rabu, 23 April 2014

Tugas 3 Agama Islam



1)      Jelaskan pandangan saudara tentang kontribusi agama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa!
Jawab:

Menurut saya, Al-quran mengajarkan bahwa kehidupan politik harus dilandasi dengan empat hal yang pokok yaitu:
1. Sebagai bagian untuk melaksanakan amanat.
2. Sebagai bagian untuk menegakkan hukum dengan adil.
3. Tetap dalam koridor taat kepada Allah, Rasu-Nya, dan ulil amri.
4. Selalu berusaha kembali kepada Al-quran dan Sunnah Nabi SAW.
Islam memberi kontribusi bagaimana seharusnya memilih dan mengangkat seorang yang akan diberi amanah untuk memegang kekuasaan politik. Yaitu orang tersebut haruslah:
1. Seorang yang benar dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya serta jujur.
2. Seorang yang dapat dipercaya.
3. Seorang memiliki keterampilan dalam komunikasi.
4. Seorang yang cerdas.
5. Yang paling penting Anda seorang yang dapat menjadi teladan dalam kebaikan.
Secara naluriah manusia tidak dapat hidup secara individual. Sifat sosial pada hakikatnya adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan baik. Dalam faktanya manusia memiliki banyak perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya, di samping tentunya sejumlah persamaan. Perbedaan tersebut kalau tidak dikelola dengan baik tentu akan menimbulkan konflik dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari kenyataan tersebut perlu dicari sebuah cara untuk dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan. Pendekatan terbaik untuk melakukan tersebut adalah melalui agama. Secara normatif agama Islam lebih khusus Al-quran banyak memberi tuntunan dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan.

2)      Di antara prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Al-quran untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa adalah prinsip persamaan, persatuan dan tolong-menolong. Jelaskan maksud masing-masing prinsip tersebut!

prinsip persatuan dan kesatuan bangsa:

Al-Quran menggambarkan persatuan dari berbagai sisi. Pertama, Al-Quran mengisyaratkan bahwa kecenderungan untuk bersatu, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia. Sejak umat pertama tercipta dan menghuni dunia, saat itu pula keinginan untuk bersatu muncul. Manusia, dengan tujuan untuk melangsungkan kehidupan serta mengurangi berbagai kesulitan, saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, karena berbagai faktor terjadilah pertikaian dan peperangan. Kedua, Al-Quran menjelaskan bahwa salah satu tugas kenabian adalah meluruskan perselisihan yang terjadi di tengah umat serta mengembalikannya kepada seruan Al-Quran. Ketiga, Quran menyebutkan tentang dampak dan pengaruh persatuan. Misalnya, dengan persatuan, umat Islam akan mencapai kemenangan serta kemuliaan. Selain itu, masih banyak sisi-sisi lainnya yang dijelaskan dalam Al-Quran. Dengan terciptanya persatuan maka kemenangan dan kemuliaan umat Islam akan tercipta sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Quran. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukan persatuan, sebab ancaman yang akan menghancurkan umat Islam sudah didepan mata.
Prinsip tolong-menolong
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Dunia ini hanya untuk empat golongan manusia: (satu di antaranya) hamba Allah yang mendapat harta dan ilmu, lalu ia bertakwa kepada Allah dalam mengelola hartanya tersebut, dan menyambung silaturahim, dan ia sadar bahwa hartanya itu adalah hak Allah. Itulah kedudukan yang paling baik (bagi seorang hamba Allah).''

Islam mengajarkan bahwa harta dan kekayaan mengandung fungsi sosial dan merupakan sumber kehidupan bagi anggota masyarakat lainnya. Dalam rangka menegakkan dasar-dasar kehidupan bersama serta mewujudkan tatanan sosial dan ekonomi berkeadilan, maka sangat diperlukan semangat tolong-menolong di antara seluruh lapisan masyarakat. Pujangga Islam A Hamid Al Chatib berkata, ''Persaudaraan dalam Islam takkan berdiri kecuali dengan jalan tolong-menolong.''

Tolong-menolong yang dimaksud di sini tiada lain dalam konteks kebaikan dan ketakwaan kepada Tuhan. Sebaliknya, Islam melarang tolong-menolong yang menjurus kepada dosa dan permusuhan. Guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Sayid Sabiq, ketika menjelaskan makna ayat Alquran surat Al-Hujurat ayat 10 'Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara', antara lain menulis, ''Arti persaudaraan di sini, yang kuat melindungi yang lemah, yang kaya bersedia membantu yang miskin. Tidak ada arti lain bagi persaudaraan yang dimaksudkan oleh Islam kecuali dengan kriteria di atas.'' (Anashirul Quwwah Fil Islam).

Dalam kaitan ini Islam menekankan pentingnya perbuatan kedermawanan atau filantropi, yaitu kewajiban menunaikan zakat, sedekah sunah, infak, wakaf, hibah, hadiah, serta wasiat. Infak, sedekah, dan zakat saling terkait satu sama lain. Infak secara umum artinya pengeluaran. Ini adalah konsep besarnya. Infak terbagi dua, yaitu infak wajib, terdiri atas nafkah keluarga dan zakat, dan infak sunat, yaitu sedekah.

Dalam surat Al-Baqarah, kewajiban menafkahkan harta di jalan kebajikan dinyatakan setelah penegasan kebenaran Alquran, keimanan kepada Allah dalam kegaiban, kewajiban menegakkan shalat, dan diteruskan, ''wa mimma razaqnaahum yun fiquun (dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan).'' (Al-Baqarah: 3).

Allah SWT berfirman, ''Dan barang siapa terpelihara dari kekikiran dirinya, maka merekalah orang-orang yang beruntung.'' (Al-Hasyar: 9). Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai sedekah yang paling utama, Rasulullah menjawab, ''Sedekah yang paling utama ialah sedekah yang engkau berikan dalam keadaan sehat dan memerlukan harta, dan ketika engkau khawatir jatuh miskin dan bercita-cita menjadi kaya.'' Wallahu a'lam bis shawab. (M Fuad Nasar)


3)      Musyawarah adalah salah satu cara yang sangat dianjurkan oleh agama Islam dalam memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat. Bagaimana pandangan Islam tentang musyawarah dan apa kaitannya dengan usaha mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa?

Jawab:
Pentingnya masalah musyawarah dalam pandangan Islam sehingga satu di antara 114 surat dalam AlQuran bernama “Assyura” artinya musyawarah. Surat Assyura bersifat Makkiyah artinya Surat ini diturunkan di Mekkah ketika kaum muslimin masih merupakan kelompok minoritas di tengah-tengah kesombongan kaum musyrikin Quraisy yang mayoritas.

Ketika menghadapi perang Badar, Rasul bermusyawarah dengan kaum Muhajirin dan Anshar, setelah sepakat barulah Beliau dan pengikutnya menuju ke medan perang. Setelah tiba di medan perang timbul musyawarah kedua. Para sahabat semua tahu bahwa hal-hal yang berhubungan dengan ibadah murni mereka akan taat dan patuh kepada perintah Rasullullah, namun sebaliknya terhadap perintah yang bukan bersifat ibadah murni seperti “siasat perang” misalnya mereka akan balik bertanya kepada Rasul. Demikian yang dilakukan oleh Al Habbab Bin Al Munzir, ketika Rasullullah memerintahkan berhenti para pasukan pada tempat yang jauh dari sumber air. Lalu Habbab bertanya kepada Rasul: “Apakah perintah berhenti di tempat ini datang dari Allah SWT yang tidak mungkin kami bantah atau perintah ini hanyalah pendapat pribadi dalam rangka berperang dan siasat. Rasul menjawab: ini semata-mata pendapat pribadi. Habbab berkata lagi: Kalau begitu ya Rasullullah tempat ini tidak pantas sebagai tempat berhenti pasukan, lebih baik kita berhenti yang dekat dengan sumber air sebelum diduduki musuh. Rasul menjawab, pendapat Habbab sangat tepat, lalu Rasul memerintahkan seluruh pasukan untu berpindah ke tempat yang ditunjuk Habbab al Munzir.

Setelah perang Badar usai dan mendapat kemenangan yang mampu menawan pasukan musuh sebanyak 70 orang, Rasul bermusyawarah dengan para sahabat tentang perlakuan terhadap para tawanan dengan pilihan; dibebaskan semuanya, dibunuh semuanya atau diberikan kebebasan untuk menebus diri mereka. Tegasnya seluruh perintah yang bukan wahyu dan yang menyangkut kepentingan orang banyak Rasul berpesan: “Antum `alamu bi umuri dunyakum” (Kamu lebih mengetahui tentang urusan dunia kamu).

Pelaksanan hasil musyawarah pula dalam Alquran Allah berfirman: “Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu, maka apabila telah bulat hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.” Dengan perkataan lain bahwa apabila keputusan hasil musyawarah telah disepakati maka dengan ketetapan hati keputusan itu harus dilaksanakan dengan menyerahkan diri kepada Allah. Ironinya dalam kehidupan kita meski keputusan telah diambil dengan kesepakatan bersama, namun tak jarang hasilnya tidak berani dijalankan. Hal ini persis seperti musyawarah tikus untuk mengetahui kedatangan kucing-musyawarah itu digelar dengan satu kata putus yaitu dengan cara mengikat lonceng di leher kucing. Namun ketika hasil musyawarah ini hendak dijalankan tidak seekor pun para tikus yang bersedia mengikat lonceng di leher sang kucing---tentunya sebuah keputusan yang sia-sia.

Untuk mempertegas ayat di atas, kita ikuti musyawarah Rasullullah dalam menghadapi perang Uhud. Rasul bermusyawarah dengan segenap pasukan muslim untuk menetapkan apakah musuh dihadapi dalam kota atau diluar kota. Rasul pribadi dan sebagian para sahabat berpendapat sebaiknya musuh dihadapi di dalam kota. Sebaliknya sebagian yang lain dan kebanyakan suara dari kalangan para pemuda berpendapat supaya musuh dihadapi di luar kota, pendapat ini didukung oleh massa terbanyak. Akhirnya Rasul memutuskan untuk melawan musuh di luar kota. Sesudah Rasul memakai pakaian perang para pemuda yang membuat usul untuk menghadapi musuh di luar kota mencabut usulnya dan mendukung pendapat Rasul yaitu berperang di dalam kota dengan mempergunakan segala sumber daya yang ada, fasilitas kota yang istilah sekarang sering disebut dengan istilah “perang semesta”. Hal itu ditolak Rasul dengan mengatakan: “Tidak layak bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perang lalu menanggalkannya kembali sebelum Allah memberi putusan antara diri dan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepadamu dan turutilah dia dan kemenangan pasti berpihak kepadamu selama kamu tetap sabar”

Semua kita wajib melaksanakan semua ketetapan yang telah diputuskan apa pun risikonya. Intinya adalah syura telah menjadi dasar utama dalam pemerintahan sebuah negara, inilah dasar politik pemerintahan dan masyarakat dalam perang dan damai. Dalam Surat Asyura ayat 38 Allah berfirman: “Dan orang-orang yang memperkenankan perintah Tuhan mereka dan mendirikan shalat dan segala urusan mereka dan bermusyawarahlah diantara mereka dan mereka menginfaqkan apa yang telah kami berikan.”

Ayat ini memberi gambaran bahwa musyawarah pasti timbul dengan adanya jamaah. Setiap muslim wajib menjunjung tinggi panggilan Tuhannya lalu mengerjakan shalat bersama-sama. Mengerjakan shalat berjamaah harus selalu diawali dengan musyawarah, terutama dalam menetapkan imam yang memimpin shalat berjamaah, dan dengan sabar para jamaah mau menginfaqkan hartanya untuk kemashlahatan.

Waktu di Mekkah kaum Muslim merupakan kelompok kecil, maka timbullah musyawarah dalam skala kecil, dan setelah di Madinah, umat Islam telah berubah menjadi kelompok besar, maka timbullah musyawarah dalam skala besar, masyarakat yang masih terbatas dalam kota Madinah musyawarah dilaksanakan dalam Masjid Rasul. Rasul menganjurkan untuk terus bermusyawarah-sampai kepada masyarakat paling kecil sekalipun seperti sekelompok orang melakukan perjalanan untuk mengangkat seorang amir atau ketua rombongan dengan musyawarah. Demikian pula dengan Khalifah setelah Rasullullah mengangkat amir atau wali di wilayah Islam dengan kewajiban antara lain menghidupkan kembali sistem aturan musyawarah ini.

Pertumbuhan dan perkembangan musyawarah Islam hampir sama dengan pertumbuhan demokrasi di kota-kota Yunani kuno di mana pemungutan suara dilakukan secara langsung kemudian demokrasi itupun berkembang sesuai zaman dan tempat, ruang dan waktu. Yang sangat penting perlu diketahui bahwa Rasul tidak meninggalkan wasiat yang rinci tentang sistem dan cara menyusun serta melaksanakan demokrasi itu. Padahal dengan ilham Allah Rasul telah mengetahui sepeninggal beliau Islam akan berkembang ke segenap penjuru dunia. Allah dan Rasulnya tidak mengikat kita dengan salah satu sistem demokrasi yang ada--karena sistem ini akan berkembang dan terus berubah. Sebagai bahan perbandingan, bahwa Rasullullah SAW dalam bermusyawarah telah memakai Menteri utama yaitu Abubakar dan Umar Bin Ibn Khattab dan Menteri utama tingkat dua yaitu usman Ibn Affan dan Ali  Bin Abi Thalib--kemudian ada Menteri berenam: Saad bin Abi Waqqas, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwan, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman Bin Auf dan Said bin Al-ash.
Dengan demikian, karena Islam tidak mengikat dengan salah satu sistem demokrasi maka masing-masing masyarakat Muslim bebas memilih sistem apa yang paling sesuai dengan masyarakatnya.
Hal itu adalah musyawarah yang dibuat oleh manusia, untuk bermusyawarah dalam system pemerintahannya dengan dirinya sendiri, sedangkan musyawarah dalam Islam adalah tukar pendapat antara orang-orang yang mempunyai pemikiran yang cerdas dari ahlul halli wal aqdi,  untuk sampai pada keputusan terbaik dalam menerapkan hukum Allah atas manusia.Oleh karena itu masyarakat dalam Islam sangat mulia, karena ia adalah perintah Allah, tidak boleh bagi penguasa menghapusnya untuk memaksakan kekuasaannya pada manusia:

(Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) ((QS. Ali Imran: 156)
(Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; )
 ((QS. Asssyuura: 38)
sedangkan dalam Negara yang menggunakan undang-undang buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi, dan memberlakukan hukum darurat dengan alasan keamanan, disinilah terjadi sikap otoriter dan kezaliman.
Oleh karena musyawarah dalam Islam bersumber dari Tuhan, maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika mendengar kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan menjawabnya dengan kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada seorang wanita yang membantahnya dalam masalah pembatasan Mahar: "Umar salah dan wanita ini benar"

NAMA            : AHMAD SOLEH
NIM                : 017389204
UT-UPBJJ       : JAKARTA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar